ETIKA BISNIS
Etika bisnis merupakan
cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang
mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan dan juga
masyarakat. Etika Bisnis dalam suatu perusahaan dapat membentuk nilai, norma
dan perilaku karyawan serta pimpinan dalam membangun hubungan yang adil dan
sehat dengan pelanggan/mitra kerja, pemegang saham, masyarakat.
Etika Bisnis dapat menjadi standar dan pedoman bagi seluruh
karyawan termasuk manajemen dan menjadikannya sebagai pedoman untuk
melaksanakan pekerjaan sehari-hari dengan dilandasi moral yang luhur, jujur,
transparan dan sikap yang profesional.
Kesimpulan
Etika Bisnis
Etika
bisnis merupakan studi yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan salah.
Studi
ini berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan, institusi,
dan perilaku bisnis.
Etika bisnis merupakan studi standar formal dan bagaimana standar itu diterapkan ke dalam system dan organisasi yang digunakan masyarakat modern untuk memproduksi dan mendistribusikan barang dan jasa dan diterapkan kepada orang-orang yang ada di dalam organisasi.
Etika bisnis perlu dimiliki individu dan perusahaan
Etika bisnis sangat bermanfaat dalam menyelesaikan masalah-masalah bisnis
Etika bisnis memiliki sanksi moral
Tanpa etika bisnis, ekonomi akan kacau
6
Tingkatan Membangun Moral
Menurut
ahli psikologi, Lawrence Kohlberg, dengan risetnya selama 20 tahun,
menyimpulkan,
bahwa ada 6 tingkatan (terdiri dari 3 level, masing-masing 2 tahap) yang
teridentifikasi
dalam perkembangan moral seseorang untuk berhadapan dengan isu-isu
moral.
Tahapannya adalah sebagai berikut :
1)
Level satu : Tahap Prakonvensional
Pada
tahap pertama, seorang anak dapat merespon peraturan dan ekspektasi sosial dan
dapat
menerapkan label-label baik, buruk, benar dan salah.
Tahap
satu : Orientasi Hukuman dan Ketaatan
Pada
tahap ini, konsekuensi fisik sebuah tindakan sepenuhnya ditentukan oleh
kebaikan
atau
keburukan tindakan itu. Alasan anak untuk melakukan yang baik adalah untuk
menghindari
hukuman atau menghormati kekuatan otoritas fisik yang lebih besar.
Tahap
dua : Orientasi Instrumen dan Relativitas
Pada
tahap ini, tindakan yang benar adalah yang dapat berfungsi sebagai instrument
untuk
memuaskan kebutuhan anak itu sendiri atau kebutuhan mereka yang dipedulikan
anak
itu.
2)
Level dua : Tahap Konvensional
Pada
level ini, orang tidak hanya berdamai dengan harapan, tetapi menunjukkan
loyalitas
terhadap
kelompok beserta norma-normanya. Remaja pada masa ini, dapat melihat situasi
dari
sudut pandang orang lain, dari perspektif kelompok sosialnya.
Tahap
Tiga : Orientasi pada Kesesuaian Interpersonal
Pada
tahap ini, melakukan apa yang baik dimotivasi oleh kebutuhan untuk dilihat
sebagai
pelaku
yang baik dalam pandangannya sendiri dan pandangan orang lain.
Tahap
Empat : Orientasi pada Hukum dan Keteraturan
Benar
dan salah pada tahap konvensional yang lebih dewasa, kini ditentukan oleh
loyalitas
terhadap negara atau masyarakat sekitarnya yang lebih besar. Hukum dipatuhi
kecuali
tidak sesuai dengan kewajiban sosial lain yang sudah jelas.
3)
Level tiga : Tahap Postkonvensional, Otonom, atau Berprinsip
Pada
tahap ini, seseorang tidak lagi secara sederhana menerima nilai dan norma
kelompoknya.
Dia justru berusaha melihat situasi dari sudut pandang yang secara adil
mempertimbangkan
kepentingan orang lain. Dia mempertanyakan hukum dan nilai yang
diadopsi
oleh masyarakat dan mendefinisikan kembali dalam pengertian prinsip moral
yang
dipilih sendiri yang dapat dijustifikasi secara rasional. Hukum dan nilai yang
pantas
adalah
yang sesuai dengan prinsip-prinsip yang memotivasi orang yang rasional untuk
menjalankannya.
Tahap Lima : Orientasi pada Kontrak Sosial
Tahap
ini, seseorang menjadi sadar bahwa mempunyai beragam pandangan dan pendapat
personal
yang bertentangan dan menekankan cara yang adil untuk mencapai consensus
dengan
kesepahaman, kontrak, dan proses yang matang. Dia percaya bahwa nilai dan
norma
bersifat relative, dan terlepas dari consensus demokratis semuanya diberi
toleransi.
Tahap
Enam : Orientasi pada Prinsip Etika yang Universal
Tahap
akhir ini, tindakan yang benar didefinisikan dalam pengertian prinsip moral
yang
dipilih
karena komprehensivitas, universalitas, dan konsistensi. Alasan seseorang untuk
melakukan
apa yang benar berdasarkan pada komitmen terhadap prinsip-prinsip moral
tersebut
dan dia melihatnya sebagai criteria untuk mengevaluasi semua aturan dan
tatanan
moral yang lain.
2 Aplikasi Standar
Moral
Moralitas adalah pedoman yang dimiliki
individu atau kelompok mengenai apa itu benar dan salah, atau baik dan
jahat. Pedoman moral mencakup norma-norma yang kita miliki mengenai
jenis-jenis tindakan yang kita yakini benar atau salah secara moral, dan
nilai-nilai yang kita terapkan pada objek-objek yang kita yakini secara moral
baik atau secara moral buruk. Standar moral pertama kali terserap ketika
masa kanak-kanak dari keluarga, teman, pengaruh kemasyarakatan seperti gereja,
sekolah, televisi, majalah, music dan perkumpulan.
Hakekat standar moral :
Standar moral berkaitan dengan persoalan yang kita anggap
akan merugikan secara serius atau benar-benar akan menguntungkan manusia.
Standar moral tidak dapat ditetapkan atau diubah oleh
keputusan dewan otoritatif tertentu.
Standar moral harus lebih diutamakan daripada nilai lain
termasuk (khususnya) kepentingan diri.
Standar moral berdasarkan pada pertimbangan yang tidak
memihak.
Standar moral diasosiasikan dengan emosi tertentu dan kosa
kata tertentu.
Standar moral, dengan demikian, merupakan standar yang berkaitan dengan persoalan yang kita anggap mempunyai konsekuensi serius, didasarkan pada penalaran yang baik bukan otoritas, melampaui kepentingan diri, didasarkan pada pertimbangan yang tidak memihak, dan yang pelanggarannya diasosiasikan dengan perasaan bersalah dan malu dan dengan emosi dan kosa kata tertentu.
Standar moral, dengan demikian, merupakan standar yang berkaitan dengan persoalan yang kita anggap mempunyai konsekuensi serius, didasarkan pada penalaran yang baik bukan otoritas, melampaui kepentingan diri, didasarkan pada pertimbangan yang tidak memihak, dan yang pelanggarannya diasosiasikan dengan perasaan bersalah dan malu dan dengan emosi dan kosa kata tertentu.
TANGGUNG
JAWAB MORAL
Kapankah
secara moral seseorang bertanggung jawab atau disalahkan, karena melakukan
kesalahan?
Seseorang secara moral bertanggung jawab atas tindakannya dan efek-efek
merugikan
yang telah diketahui ;
a.
Yang dilakukan atau dilaksanakan seseorang dengan sengaja dan secara bebas
b.
Yang gagal dilakukan atau dicegah dan yang secara moral keliru karena orang itu
dengan
sengaja atau secara bebas gagal melaksanakan atau mencegahnya.
Ada
kesepakatan umum, bahwa ada dua kondisi yang sepenuhnya menghilangkan
tanggung
jawab moral seseorang karena menyebabkan kerugian ;
1.
Ketidaktahuan
2.
Ketidakmampuan
Keduanya
disebut kondisi yang memaafkan karena sepenuhnya memaafkan orang dari
tanggung
jawab terhadap sesuatu. Jika seseorang tidak mengetahui, atau tidak dapat
menghindari
apa yang dia lakukan, kemudian orang itu tidak berbuat secara sadar, ia
bebas
dan tidak dapat dipersalahkan atas tindakannya. Namun, ketidaktahuan dan
ketidakmampuan
tidak selalu memaafkan seseorang, salah satu pengecualiannya adalah ketika
seseorang mungkin secara sengaja, membiarkan dirinya tidak mau mengetahui
persoalan
tertentu.
Kesimpulan
mendasar tentang tanggung jawab moral atas kesalahan atau kerugian yang
memperingan
tanggung jawab moral seseorang yaitu :
1.
Secara moral individu, bertanggung jawab atas tindakan yang salah yang dia
lakukan
(atau yang secara keliru dia lalaikan) dan atas efek-efek kerugian yang
disebabkan
(atau yang gagal dia cegah) ketika itu dilakukan dengan bebas dan
sadar.
2.
Tanggung jawab moral sepenuhnya dihilangkan (atau dimaafkan) oleh
ketidaktahuan
dan ketidakmampuan
3.
Tanggung jawab moral atas kesalahan atau kerugian diringankan oleh :
•
Ketidak pastian
•
Kesulitan
A.
Tanggung Jawab Perusahaan
Dalam
perusahaan modern, tanggung jawab atas tindakan perusahaan sering
didistribusikan
kepada sejumlah pihak yang bekerja sama. Tindakan perusahaan biasanya
terdiri
atas tindakan atau kelalaian orang-orang berbeda yang bekerja sama sehingga
tindakan
atau kelalaian mereka bersama-sama menghasilkan tindakan perusahaan. Jadi,
siapakah
yang bertanggung jawab atas tindakan yang dihasilkan bersama-sama itu?
Pandangan
tradisional berpendapat bahwa mereka yang melakukan secara sadar dan
bebas
apa yang diperlukan perusahaan, masing-masing secara moral bertanggung jawab.
Lain
halnya pendapat para kritikus pandangan tradisional, yang menyatakan bahwa
ketika
sebuah kelompok terorganisasi seperti perusahaan bertindak bersama-sama,
tindakan
perusahaan mereka dapat dideskripsikan sebagai tindakan kelompok, dan
konsekuensinya
tindakan kelompoklah, bukan tindakan individu, yang mengharuskan
kelompok
bertanggung jawab atas tindakan tersebut.
B.
Tanggung Jawab Bawahan
Dalam
perusahaan, karyawan sering bertindak berdasarkan perintah atasan mereka.
Perusahaan
biasanya memiliki struktur yang lebih tinggi ke beragam agen pada level
yang
lebih rendah. Jadi, siapakah yang harus bertanggung jawab secara moral ketika
seorang atasan memerintahkan bawahannya untuk melakukan tindakan yang mereka
ketahui
salah.
Orang
kadang berpendapat bahwa, ketika seorang bawahan bertindak sesuai dengan
perintah
atasannya yang sah, dia dibebaskan dari semua tanggung jawab atas tindakan itu. Hanya
atasan yang secara moral bertanggung jawab atas tindakan yang keliru, bahkan
jika
bawahan adalah agen yang melakukannya.
Pendapat tersebut keliru, karena bagaimanapun
tanggung jawab moral menuntut seseorang bertindak secara bebas dan sadar,
dan tidak relevan bahwa tindakan seseorang yang salah merupakan pilihan secara
bebas
dan sadar mengikuti perintah. Ada batas-batas kewajiban karyawan untuk mentaati
atasannya.
Seorang karyawan tidak mempunyai kewajiban untuk mentaati perintah melakukan
apapun yang tidak bermoral.
CONTOH
PELANGGARAN ETIKA BISNIS
Pelanggaran
etika bisnis terhadap hukum
Sebuah
perusahaan X karena kondisi perusahaan yang pailit akhirnya memutuskan untuk
Melakukan
PHK kepada karyawannya. Namun dalam melakukan PHK itu, perusahaan sama sekali
tidak memberikan pesongan sebagaimana yang diatur dalam UU No. 13/2003
tentang
Ketenagakerjaan. Dalam kasus ini perusahaan x dapat dikatakan melanggar
prinsip
kepatuhan terhadap hukum.
Pelanggaran etika bisnis terhadap transparansi
Sebuah
Yayasan X menyelenggarakan pendidikan setingkat SMA. Pada tahun ajaran
baru
sekolah mengenakan biaya sebesar Rp 500.000,- kepada setiap siswa baru.
Pungutan
sekolah
ini sama sekali tidak diinformasikan kepada mereka saat akan mendaftar,
sehingga
setelah diterima mau tidak mau mereka harus membayar. Disamping itu tidak
ada
informasi maupun penjelasan resmi tentang penggunaan uang itu kepada wali
murid.
Setelah
didesak oleh banyak pihak, Yayasan baru memberikan informasi bahwa uang itu
dipergunakan
untuk pembelian seragama guru. Dalam kasus ini, pihak Yayasan dan
sekolah
dapat dikategorikan melanggar prinsip transparansi.
Pelanggaran etika bisnis terhadap akuntabilitas
Sebuah
RS Swasta melalui pihak Pengurus mengumumkan kepada seluruh karyawan
yang
akan mendaftar PNS secara otomotais dinyatakan mengundurkan diri. A sebagai
salah
seorang karyawan di RS Swasta itu mengabaikan pengumuman dari pihak pengurus
karena
menurut pendapatnya ia diangkat oleh Pengelola dalam hal ini direktur, sehingga
segala
hak dan kewajiban dia berhubungan dengan Pengelola bukan Pengurus. Pihak
Pengelola
sendiri tidak memberikan surat edaran resmi mengenai kebijakan tersebut.
Karena
sikapnya itu, A akhirnya dinyatakan mengundurkan diri. Dari kasus ini RS
Swasta
itu dapat dikatakan melanggar prinsip akuntabilitas karena tidak ada kejelasan
fungsi,
pelaksanaan dan pertanggungjawaban antara Pengelola dan Pengurus Rumah
Sakit
Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip pertanggungjawaban
Sebuah
perusahaan PJTKI di Jogja melakukan rekrutmen untuk tenaga baby sitter. Dalam
pengumuman
dan perjanjian dinyatakan bahwa perusahaan berjanji akan mengirimkan
calon
TKI setelah 2 bulan mengikuti training dijanjikan akan dikirim ke negara-negara
tujuan.
Bahkan perusahaan tersebut menjanjikan bahwa segala biaya yang dikeluarkan
pelamar
akan dikembalikan jika mereka tidak jadi berangkat ke negara tujuan. B yang
terarik
dengan tawaran tersebut langsung mendaftar dan mengeluarkan biaya sebanyak
Rp
7 juta untuk ongkos administrasi dan pengurusan visa dan paspor. Namun setelah
2
bulan
training, B tak kunjung diberangkatkan, bahkan hingga satu tahun tidak ada
kejelasan.
Ketika dikonfirmasi, perusahaan PJTKI itu selalu berkilah ada penundaan,
begitu
seterusnya. Dari kasus ini dapat disimpulkan bahwa Perusahaan PJTKI tersebut
telah
melanggar prinsip pertanggungjawaban dengan mengabaikan hak-hak B sebagai
calon
TKI yang seharusnya diberangkatkan ke negara tujuan untuk bekerja.
sumber: berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar